
Ada apa dengan anak yang nakal?
Kenakalan anak umumnya dikaitkan dengan segala bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Karena perilaku itulah mereka dianggap berbeda dari yang lainnya sehingga mendapatkan gelar “nakal”.
Tetapi, apakah seseorang itu terlahir nakal?
Manusia lahir ke dunia dalam keadaan yang kosong ibarat kertas putih. Ia memulai perjalanan hidupnya dari nol dan tidak tahu apa-apa. Pengalaman serta pembelajaran yang ia dapatkan selama perkembangan hidupnya sangat berperan dalam pembentukan kepribadiannya ketika anak-anak. Fase anak-anak merupakan fase dimana seseorang berusaha mengeksplorasi dunia sekitarnya. Ia akan berusaha untuk memuaskan keingintahuannya akan segala hal. Oleh karena itu, akan ada banyak faktor yang memengaruhinya dalam melakukan eksplorasi tersebut, seperti faktor keluarga, lingkungan, sekolah, sosial, serta masyarakat. Tidak menutup kemungkinan faktor-faktor tersebut juga dapat memengaruhi terjadinya kenakalan pada anak. Namun, sebelum kita bahas lebih jauh, lebih baik kita memahami terlebih dahulu apa itu kenakalan pada anak serta apa saja batasannya
Kenakalan anak merupakan sebuah kejadian lumrah di dalam keluarga. Akan tetapi, tanpa adanya penanganan yang baik, anak-anak yang nakal ini bisa membuat geger satu Indonesia. Ambil contoh sebuah kasus yang terjadi pada tahun 2019 (Liputan6, 2019). Siswa SD di Jember yang berusia 13 tahun sering kali mengancam untuk membunuh guru dan teman-teman sebayanya. Tidak hanya di sekolah, siswa tersebut juga mendapat cap nakal dari orang tuanya di rumah. Selain itu, ada kasus yang sedang booming belakangan ini terjadi pada bulan Juli tahun 2021 (Pranita, 2021). Seorang anak perempuan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah meninggal akibat kesalahan fatal yang dilakukan oleh orang tuanya. Alih-alih diajarkan ataupun dinasehati, orang tua dari anak tersebut malah membawanya ke dukun. Alhasil, setelah direndam dalam jangka waktu yang tidak masuk akal, anak tersebut meninggal.
Apa sebenarnya kenakalan itu?
Orang tua seringkali menyebut anaknya ‘nakal’ ketika anaknya tidak menuruti hal yang mereka mau. Orang tua juga kerap memarahi atau memberi nasihat kepada anak mereka ketika berbuat ‘nakal’. Lantas, apa sebenarnya nakal itu? Menurut KBBI nakal adalah suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama bagi anak-anak) dan definisi kenakalan menurut KBBI merupakan sifat atau perbuatan nakal itu sendiri. KBBI sendiri menyebutkan bahwa nakal identik dengan anak-anak. Anak-anak menurut psikologi perkembangan adalah seseorang yang berumur sekitar 5–11 tahun dan setelah itu diikuti dengan fase remaja (Santrock, 2017). Namun, menurut Undang-Undang №23 Tahun 2002 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (litigasi.co.id, 2020). Penggunaan kata anak sendiri masih bergantung kepada konteks yang akan digunakan seperti konteks hukum, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Kenakalan
Anggapan masyarakat tentang perilaku nakal anak tersebar ke dalam spektrum yang relatif luas. Anak dianggap nakal ketika tidak menuruti permintaan orang tua, memperlihatkan temper tantrum, berkata kasar, hingga menunjukkan perilaku serius seperti kekerasan kepada teman, vandalisme, dan lain-lain. Apabila perilaku yang destruktif dan mengganggu bagi dirinya maupun orang lain sering terjadi, praktisi mengkategorikan perilaku ini sebagai conduct disorders (Santrock, 2017). Adapun ketika kenakalan anak sudah dianggap sebagai perilaku yang ilegal, anak-anak ini dianggap sebagai delinquent.
Loeber dan Farrington (2001) mengelompokkan anak-anak yang mempunyai perilaku delinquent ke dalam tiga kategori, yaitu
- Children showing persistent disruptive behavior, yakni anak-anak yang menunjukkan perilaku nakal yang menetap. Kategori ini mencakup anak yang sering membolos dan mempunyai perilaku yang sulit diubah;
- Other child delinquents, yakni anak yang menunjukkan perilaku yang berhubungan dengan kekerasan; serta
- Serious child delinquents, yakni anak yang pernah melakukan kekerasan serius, seperti pembunuhan, penyerangan parah, pencurian, pemerkosaan, atau pembakaran serius.
Apa yang memengaruhi?
Sebagaimana pepatah, apa yang ditanam itulah yang dituai seakan menjadi pengantar yang tepat untuk menjawab berbagai alasan kenakalan anak atau juvenile delinquency. Hal-hal yang dianggap nakal tersebut tentunya tidak terlepas dari berbagai latar belakang yang mendasari perilaku anak. Faktor lingkungan menjadi salah satu faktor kasus-kasus kenakalan anak. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan fakta bahwa faktor-faktor internal mengambil andil dalam kasus ini. Lantas, apa saja hal-hal potensial yang memengaruhi kenakalan anak?
Terdapat setidaknya empat faktor utama kenakalan anak sebagai berikut (Santrock, 2017) :
- Hereditas (Faktor Biologis)
Hereditas yang dimaksud dalam konteks kenakalan anak adalah sesuatu yang diwariskan berupa sifat-sifat hingga intelegensi dari generasi sebelumnya. Menurut Robert J. Sternberg intelegensi mencakup kemampuan menimbang pilihan secara hati-hati dan bijaksana, serta mengembangkan strategi adaptasi terhadap lingkungan. Dari definisi tersebut dapat dikembangkan bahwa pengaruh hereditas ini cukup strategis membentuk potensi perilaku anak yang akan ditunjang dengan proses belajar dari faktor lingkungan. Anak-anak yang memiliki daya kognitif rendah cenderung memiliki keberhasilan akademik yang rendah pula. Fenomena tersebut menjadi faktor juga peningkatan kenakalan anak (Gordon Simons & others, 2018; Mercer & others, 2016).
Terkait proses belajar, Social Learning Theory yang dirumuskan Ronald Akkers berasumsi bahwa delinkuensi anak dipengaruhi pengalaman belajar dan pengalaman kemasyarakatan dengan nilai-nilai dalam bermasyarakat. Anak-anak akan cenderung agresif jika ia terbiasa melihat perilaku kekerasan di lingkungannya. Oleh karena itu, kolaborasi hereditas dengan lingkungan menjadi senjata makan tuan apabila tidak diarahkan dengan baik.
- Problem Identitas (Faktor Psikologis)
Selain faktor hereditas, krisis identitas juga menjadi polemik tersendiri dalam diri anak. Problem identitas ini umumnya menjadi alasan familiar bagi beberapa kasus menyimpang di bawah umur. Mayoritas mereka berdalih bahwa ini proses dalam mencari jati diri. Baik pada tahapan anak-anak maupun remaja, konflik antara real self dan ideal self yang seharusnya menjadi konsentrasi para orangtua dan anak itu sendiri. Menurut Carl Rogers dalam teori kepribadiannya, real self adalah keadaan diri individu saat ini sedangkan ideal self adalah keadaan diri yang ingin dicapai oleh individu tersebut. Pada masa ini biasanya anak dapat membedakan potensi aktual yang mereka miliki dengan cita-cita yang mereka harapan. Akan tetapi, saat remaja konflik konstruk dari the self ini semakin memanas. Jika tidak bisa diatasi, mereka akan terbelenggu dalam kebingungan yang dibangun sendiri (Santrock, 2017). Hal ini relevan dengan usia dan perkembangan kognitifnya yang mulai berpikir abstrak dan idealis.
- Pengaruh komunitas
Orangtua atau keluarga biasanya akan lebih mengenal dampak secara langsung dan cepat dari pengaruh komunitas ini. Istilah salah gaul bahkan menjadi tren di kalangan masyarakat awam. Nyatanya, melalui beberapa penelitian asumsi-asumsi mengenai teman sebaya yang nakal berpotensi membuat anak lain menjadi nakal benar adanya dan dapat dibuktikan secara saintifik (Bagwell & Bukowski, 2018; Walters, 2019).
Penelitian baru yang dilakukan Kim dan Fletcher pada tahun 2018 menghasilkan kesimpulan bahwa kelas atau sekolah yang sering terlibat kenakalan cenderung mempunyai siswa-siswi yang nakal pula. Fenomena ini berkaitan erat dengan teori kontrol sosial yang dipelopori oleh Durkheim. Teori ini berangkat dari hubungan diri dengan lingkungannya. Baik atau jahatnya seseorang tergantung pada anggapan masyarakatnya. Ia akan menjadi baik apabila masyarakat membuatnya menjadi baik. Hal ini merujuk pada social bond yang erat antar individu dan masyarakat untuk meminimalisasi penyimpangan.
- Pengaruh keluarga
Jika mengingat arti kata keluarga tentunya banyak yang merujuk pada kehangatan, kasih yang tulus, serta cinta yang suci. Labeling keluarga cukup kuat sebagai tempat pulang untuk berbagi cerita dan keluh kesah. Namun siapa sangka, alih-alih sebagai rumah keluarga bisa menjadi prediktor kenakalan anak yang bertumpah ruah?
Perbedaan kondisi setiap keluarga tidak terlepas dari peranan orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Contohnya tipe parenting neglectful yang memiliki low control dan low warmth akan lebih banyak menghasilkan perilaku antisosial pada anak (Santrock, 2017). Seakan tidak ada yang peduli pada dirinya, anak menunjukkan conduct disorder pada 4–6 tahun dengan melanggar aturan. Ia bahkan bisa bertindak lebih jauh disertai penganiayaan, perusakan fasilitas, dan berbagai penyimpangan lainnya.
Selain parenting, social economic status (SES) yang rendah juga turut andil meningkatkan kenakalan anak. Keluarga dengan ekonomi rendah umumnya memiliki norma pertemanan sosial yang bersifat antisosial atau kontraproduktif terhadap tujuan dan norma masyarakat pada umumnya (Santrock, 2017). Hal ini mungkin disebabkan kurangnya sekolah yang berkualitas, pendanaan pendidikan, dan kegiatan masyarakat yang kurang terorganisir (Nishina & Bellmore, 2018). Pengaruh SES ini diperkuat dengan temuan penelitian dari Najman, dkk. Pada tahun 2010 menyatakan bahwa pemuda yang keluarganya mengalami kemiskinan berulang, lebih dari dua kali lipat cenderung nakal pada usia 14 dan 21 tahun.
Apa yang bisa kita lakukan?
- Parental style
lingkungan keluarga merupakan salah satu aspek yang memengaruhi tumbuh kembang, pemikiran, dan karakteristik anak. Baumrind (2012) mengatakan bahwa terdapat empat cara pengasuhan orang tua pada anak. Parental Style pertama yaitu authoritative, pola pengasuhan yang memberikan anak kebebasan tetapi juga memberikan batasan-batasan perilaku. pengasuhan jenis ini memberikan perhatian kepada anak dan dukungan dalam membentuk perilaku yang baik. Kedua, authoritarian style. orang tua memberikan batasan dan kontrol yang sangat tegas kepada anak, sehingga kadang menjadi tuntutan bagi anak. Ketiga, neglectful style. dalam pola pengasuhan ini, orang tua lebih cenderung mengabaikan atau tidak terlibat dalam kehidupan si anak. Keempat, indulgent atau permissive style. Orang tua cenderung untuk memosisikan dirinya sebagai teman dibandingkan dengan orang tua, anak dibebaskan untuk memilih tanpa ada batasan-batasan atau keterlibatan pendapat dari orang tua. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan pengasuhan authoritative memiliki kemungkinan kenakalan yang rendah terutama pada usia 14–23 tahun (Murphy et al., 2012).
- Parental monitoring
Henneberger (2013) menyebutkan keberadaan orang tua dalam mengawasi perilaku dan aktivitas menjadi sangat penting dalam mengurangi kemungkinan kenakalan pada anak dan remaja. penelitian lain juga menyebutkan kebiasaan memonitor dan memberikan dukungan pada anak memiliki kemungkinan yang rendah dalam perilaku kriminal saat emerging adulthood (18–25 tahun) (Johnson & others, 2011).
- Memberikan reasoning ketika menegur anak
Early childhood (3- 6 tahun) merupakan fase awal dimana mereka mulai aktif mengeksplor dunianya dan mungkin saja akan melakukan kesalahan. Dalam menasehati atau mengubah perilaku tidak baik tersebut pastikan untuk tidak menghukumnya dengan hukuman fisik seperti memukul, mencubit, dll. Para peneliti sepakat bahwa dengan memberikan physical punishment seperti tadi tidak efektif dalam mengubah perilaku anak. Anak hanya akan mengingatnya sebagai pengalaman buruk tanpa mengetahui secara spesifik apa kesalahannya. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa anak-anak yang diberikan hukuman fisik saat early childhood cenderung memiliki tingkat agresivitas yang tinggi di fase perkembangan selanjutnya (Berlin & others, 2009; Gershoff & others, 2012; Lansford & others, 2014; Taylor & others, 2010; Thompson & others, 2017; Afifi & others, 2017)
- Memperbaiki hubungan antar saudara
Akhir-akhir ini banyak penelitian yang menemukan bahwa hubungan antar saudara memiliki pengaruh terhadap kenakalan (Bank, Burraston, & Snyder, 2004). Permusuhan yang tinggi antara adik-kakak dapat meningkatkan kenakalan.
- lingkungan pertemanan yang positif
Teman merupakan individu dengan tingkat umur dan kedewasaan yang sama. Kelompok pertemanan memberikan banyak fungsi bagi anak seperti memberikan informasi dan perbandingan tentang dunia luar. Selain itu, kelompok pertemanan juga biasanya saling memberikan masukan tentang kemampuan mereka dan mengevaluasi perilaku (Santrock, 2017). Dari semua fungsi di atas terlihat jelas bahwa pertemanan memainkan peran yang penting bagi perkembangan anak. sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bagwell & Bukowski (2018) menunjukkan memiliki lingkungan peer yang nakal dapat meningkatkan risiko seseorang untuk melakukan kenakalan.
- Pendidikan sekolah
Untuk menghindari kenakalan pada anak, para ahli setuju untuk pembentukan moral yang baik, salah satu caranya melalui pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kurikulum yang dapat membantu anak untuk mengerti empati. Adanya peraturan di masing-masing sekolah juga dapat membiasakan anak untuk menaati peraturan mengembangkan perilaku prososial bersama dengan teman-temannya. Menurut Nishrina & Bellmore (2018), kualitas sekolah yang baik menjadi salah satu hal yang menyebabkan rendahnya tingkat kenakalan pada anak dan remaja.
Penanganan bagi anak dengan kasus pidana
ketika kenakalan anak sudah melanggar hukum maka ada beberapa penanganan yang akan diberikan di antaranya:
- hukuman penjara
Lama hukuman ini satu per dua dari hukuman penjara bagi orang dewasa. Pada anak tidak dapat diberikan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Ketentuan lebih lanjut dibahas pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 pasal 26.
2. pidana kurungan
Sesuai dengan pasal 27 KUHP, tindakan pidana kurungan pada anak hanya diberikan paling lama satu per dua dari maksimum ancaman pidana kurungan orang dewasa.
3. Pidana denda
besar denda pada kasus anak diberikan sebesar satu per dua dari denda yang dijatuhkan pada orang dewasa
4. Pidana pengawasan
Hukuman ini diberikan paling singkat tiga bulan dengan maksimal 2 tahun
5. Pidana bersyarat
Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam hal ini diantaranya, jika anak diputuskan pidana penjara maka akan diberikan paling lama dua tahun, adanya syarat umum dan khusus, Anak dalam pidana bersyarat dinyatakan sebagai klien pemasyarakatan dan akan dibimbing oleh Balai pemasyarakatan dan diperbolehkan bersekolah dengan beberapa syarat.
Bimbingan yang dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 bertujuan untuk membuat anak menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Kenakalan pada anak akan lebih mudah diatasi jika diketahui penyebab dari terjadinya kenakalan tersebut serta akan lebih efektif dengan memahami kepribadian anak tersebut. Kenakalan yang sudah melewati batas wajar pada anak akan berdampak besar baik terhadap lingkungan maupun perkembangannya. Hal itu akan berdampak negatif bagi dirinya serta orang yang ada di sekitarnya. Jika kenakalan pada anak tidak dapat diatasi maka terdapat kemungkinan hal itu akan berlanjut ketika ia remaja yang mungkin akan lebih berbahaya dampaknya. Maka dari itu, kenakalan yang terjadi sebaiknya diatasi sedini mungkin dengan penanganan yang tepat sebelum kenakalan itu semakin merugikan banyak pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Bagwell, C. L., & Bukowski, W. M. (2018). Friendship in childhood and adolescence: Features, effects, and processes. In W. M. Bukowski, B. Laursen, & K. H. Rubin (Eds.), Handbook of peer interactions, relationships, and groups (pp. 371–390). The Guilford Press.
Baumrind, D. (2013). Authoritative parenting revisited: History and current status. In R. E. Larzelere, A. S. Morris, & A. W. Harrist (Eds.), Authoritative parenting: Synthesizing nurturance and discipline for optimal child development (pp. 11–34). American Psychological Association. https://doi.org/10.1037/13948-002
Henneberger, A. K., Durkee, M. I., Truong, N., Atkins, A., & Tolan, P. H. (2013). The longitudinal relationship between peer violence and popularity and delinquency in adolescent boys: Examining effects by family functioning. Journal of youth and adolescence, 42(11), 1651–1660.
Johnson, Sara & Goldman, Jane & Garey, Anita & Britner, Preston & Weaver, Shannon. (2011). Emerging Adults’ Identity Exploration: Illustrations From Inside the “Camp Bubble”. Journal of Adolescent Research — J ADOLESCENT RES. 26. 258–295. 10.1177/0743558410376832.
Liputan6. (2019). Kerap Ancam Guru dan Teman, Siswa SD di Jember Dikeluarkan. Liputan6.Com. https://www.liputan6.com/news/read/4055411/kerap-ancam-guru-dan-teman-siswa-sd-di-jember-dikeluarkan
Litigasi. (2020). Batas Usia “Anak” Di Dalam Hukum. Litigasi.co.id. Retrieved 10 July 2021, from https://litigasi.co.id/ilmu-hukum/560/batas-usia-anak-di-dalam-hukum.
Loeber, R., & Farrington, D. P. (2001). Child delinquents. Sage.
Muhtadi, A., & Goleman, M. (2008). Pengembangan empati anak sebagai dasar pendidikan moral. Online),(http://staff. uny. ac. id/., diakses pada 1.
Nishina, A., & Bellmore, A. (2018). Inequality and neighborhood effects on peer relationships. In W. M. Bukowski, B. Laursen, & K. H. Rubin (Eds.), Handbook of peer interactions, relationships, and groups (pp. 510–532). The Guilford Press.
Pranita, E. (2021). Bocah Temanggung Dibunuh Orangtua, Mungkinkah Genderuwo Rasuki Anak? Kompas.Com. https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/19/163200923/bocah-temanggung-dibunuh-orangtua-mungkinkah-genderuwo-rasuki-anak?page=all
Santrock, J. W. (2017). A topical approach to lifespan development (9th ed.). McGraw-Hill Education.
Wahyuningtiyas, A. A. (2013). Pelaksanaan Pembimbingan Anak Nakal Di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Magelang