DEMOKRASI: Masih Berjalan?

Fact News
6 min readSep 14, 2021

--

Selamat Hari Demokrasi Internasional, Good Readers! Yup, PBB menetapkan tanggal 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional. Pada bulan April 2020, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres mengeluarkan policy brief terkait hak asasi manusia dan Covid-19. Dalam policy brief tersebut, António menyebutkan bahwa negara harus menghargai dan melindungi kebebasan berpendapat dan pers, kebebasan informasi, kebebasan berasosiasi dan perkumpulan. Kekhawatiran di banyak negara dengan terkait hal tersebut dengan konteks Covid- 19 meliputi:

  1. Langkah-langkah untuk mengontrol arus informasi dan tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dengan latar belakang ruang sipil yang menyusut;
  2. Penangkapan, penahanan, penuntutan, atau penganiayaan terhadap lawan politik, jurnalis, dokter dan petugas kesehatan, aktivis, dan lainnya karena diduga menyebarkan “berita palsu”;
  3. Pemolisian siber yang agresif dan peningkatan pengawasan online; serta
  4. Penundaan pemilu meningkatkan masalah konstitusional yang serius dalam beberapa kasus dapat menyebabkan meningkatnya ketegangan.

Lalu bagaimana pelaksanaannya di Indonesia? Sudahkah negara kita melindungi hak atas kebebasan berekspresi rakyatnya?

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”

-Tan malaka

Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang diyakini mampu bersaing dan mengharumkan nama bangsa, juga mampu menyatukan serta menyampaikan pikiran dan hati nurani untuk memajukan bangsa. Menurut Faruq (2012), ada beberapa fungsi mahasiswa, yaitu (1)Iron Stock (2)Guardian of Value (3)Agent of Chance (4)Moral Force (5)Social Control. Namun, sepertinya fungsi tersebut tidak dapat berjalan mulus di Indonesia akhir-akhir ini. Sebut saja pemanggilan BEM UI oleh pihak rektorat setelah menuliskan kritikan kepada Presiden Jokowi dalam unggahan “Jokowi: King of Lip Service” di media sosial. Secara garis besar, kritikan tersebut menggambarkan perbedaan janji presiden dengan keadaan aktual di lapangan. Unggahan ini mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai pihak. Pujian dan dukungan disampaikan oleh masyarakat umum kepada BEM UI karena dinilai berani dalam mewakilkan masyarakat terkait keadaan yang ada berdasarkan fakta dan data. Akan tetapi, penilaian berbeda disampaikan oleh pihak rektorat Kampus Kuning ini. Mereka menilai kritikan yang dilontarkan BEM yang bersangkutan tidak sesuai dengan koridor hukum. Pihak rektorat diwakilkan oleh kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI, Amelita Lusia, menyampaikan bahwa hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara bukanlah cara yang tepat karena melanggar berbagai peraturan yang ada. Akan tetapi, pihak UI tidak menyebutkan peraturan mana yang dilanggar oleh BEM UI serta simbol negara apa yang dimaksud.

Selang satu pekan dari kejadian pemanggilan tersebut, publik digegerkan dengan hilangnya akun BEM KM Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada tanggal 7 Juli 2021. Kejadian ini terjadi setelah penyampaian kritikan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ketua DPR Puan Maharani di akun Instagram tersebut. Dalam postingannya, BEM KM Unnes menjuluki Wakil Presiden Maruf Amin sebagai King of Silent dan Puan Maharani sebagai Queen of Ghosting (CNN, 2021). Unggahan ini menuai banyak kontroversi dari berbagai pihak, salah satunya datang dari pihak Unnes yang meminta untuk menurunkan postingan tersebut karena dinilai bernuansa menghina dan melecehkan agama. Pihak BEM sangat menyayangkan hal ini, mengutip dari kompas.com, “kami sangat prihatin dengan kondisi ini, kejadian ini wujud nyata dari melemahnya demokrasi di Indonesia termasuk demokrasi digital. Kejadian ini seolah sudah menjadi tradisi ketika orang atau lembaga melakukan kritik berbalas dengan serangan balik secara digital. Seharusnya, ada jaminan terhadap kebebasan berekspresi baik di ruang nyata maupun maya,” ucap Ketua BEM KM Unnes, Wahyu Suryono.

Censorship is to art as lynching is to justice

-Henry Louis Gates Jr

Dunia ini bagaikan kertas kosong yang siap diwarnai oleh imajinasi kita, setidaknya begitulah yang kita kira. Nyatanya, tidak semudah itu, Bung! Menuangkan imajinasi kita di dinding terowongan saja sudah bermasalah. Kasus ini bermula dari sebuah mural dengan gambar muka presiden tercinta kita yang matanya ditutupi oleh tulisan “404: Not found” yang terdapat di dinding terowongan Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Tangerang, Banten (BBCNews, 2021). Tidak lama setelah itu, pada tanggal 13 Agustus 2021, muka pak presiden kita di terowongan tersebut tiba-tiba berubah menjadi cat hitam polos. Rupanya, tindakan aparat untuk menyensor karya tersebut bukan hanya terjadi sekali, melainkan di berbagai lokasi. Beberapa di antaranya adalah mural ‘Tuhan Aku Lapar’ dan ‘Dipaksa Sehat di Negara Sakit’ (CNN Indonesia, 2021; Ihsanuddin, 2021).

Maraknya kasus penyensoran ditambah dengan menjamurnya jempol-jempol netizen yang membuat Kepolisian RI memberikan tanggapan terhadap kasus ini. Berbeda dengan ekspektasi, mural ini malah mendapat apresiasi dari Irjen Pol Argo Yuwono sebagai Kadiv Humas Polri (Tribunnews, 2021). Beliau mengapresiasi mural tersebut dan memandangnya sebagai sarana ekspresi bagi para anak muda untuk menyampaikan kritik. Sayangnya, apresiasi tersebut hanya diucap dari mulut belaka. Beliau tetap memandang bahwa pemilihan lokasi mural bukanlah hal yang tepat untuk melontarkan kritik. Menurutnya, mural ini seharusnya dibuat di tempat semestinya. Lantas, dimanakah tempat semestinya itu? Haruskah mural yang bertujuan mengekspresikan karya seni dibungkam demi memilih tempat yang semestinya?

“I wish there is a world where any one can know the truth and speak their mind with freedom without having to fear for their lives”

-Yumi Tamura, Basara, Vol 13

Kasus ketiga datang dari kota Blitar, Jawa Timur. Pada hari Selasa, 7 September 2021, Presiden Jokowi sedang dalam perjalanan menuju makam Bung Karno dari lokasi vaksinasi. Tiba-tiba, terdapat seorang pria yang mengangkat poster bertuliskan “PAK JOKOWI BANTU PETERNAK BELI JAGUNG DENGAN HARGA WAJAR” (Hasani, 2021). Setelah mengangkat poster tersebut, peternak ayam tersebut langsung diamankan oleh Kompol Hari Sutrisno, Kabag Ops Polres Blitar.

Kejadian tersebut mendapat komentar dari Arsul Sani, Anggota Komisi III DPR, yang meminta polisi untuk tidak berlebihan saat mengamankan kunjungan presiden di daerah (Ramadhan, 2021). Menurut AKBP Yudhi Hery Setiawan, Kapolres Blitar Kota, tindakan polisi pada saat itu hanyalah melakukan pengamanan, bukan penangkapan (Hasani, 2021). Menurut keterangan Yudhi, polisi melakukan pengamanan untuk mengetahui identitas pria tersebut serta mencegah menimbulkan kerumunan yang dapat menyalahi protokol kesehatan. Setelah dilakukan pemeriksaan selama 30 menit, polisi langsung mengantarkan pria tersebut pulang. 2 hari setelah kejadian tersebut, diketahui bahwa AKBP Yudhi Hery Setyawan memberikan bantuan paket sembako dari Presiden RI, Joko Widodo, disela pertemuan jajaran kepolisian dengan Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) Blitar (CNN Indonesia, 2021).

“Any country where there is no freedom of speech is no more than a Kingdom of Animals where only the powerful speaks!”

-Mehmet Murat ildan

Pada 13 September 2021, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melakukan kunjungan ke Universitas Sebelas Maret (UNS). Jokowi melakukan kunjungan dengan tujuan untuk membuka rapat Forum Rektor se-Indonesia. Tampaknya, aktivis mahasiswa dari UNS memanfaatkan momentum ini untuk menyuarakan aspirasinya melalui pembentangan poster bertuliskan “Pak, tolong benahi KPK” dan “Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu”. Sepertinya kita sudah dapat menebak apa lanjutan dari kasus ini? Yup, krisis kebebasan mengemukakan pendapat terulang kembali. Sepuluh mahasiswa UNS ditangkap setelah melakukan aksi tersebut. Kapolres Surakarta pun enggan memberi keterangan terkait pembungkaman para mahasiswa ini kepada awak media. Presiden BEM UNS, Zakky Musthofa dibuat heran dengan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian terhadap rekan-rekannya. Padahal, ia sudah yakin bahwa tidak terdapat pelanggaran dalam aksi membentangkan poster tersebut di hadapan Presiden kita. Bak pendosa di mata otoritas, semua yang dilakukan pasti salah, meminta dengan damai pun dianggap salah. Lalu, apakah kami tidak dapat meminta lagi kepada Anda yang duduk di tempat yang lebih tinggi?

Kasus-kasus tersebut merupakan sedikit contoh dari banyaknya kasus penekanan ekspresi demokrasi yang terjadi di negara kita ini. Kebebasan untuk berekspresi yang seharusnya menjadi hak semua warga negara kerap dibatasi dengan adanya aturan-aturan yang telah dibuat oleh para pemangku kekuasaan tertinggi. Aturan yang seharusnya memudahkan rakyatnya, justru malah membuat rakyatnya merasa terancam akan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Sesungguhnya, ketika ada permasalahan di situ ada perjuangan. Ketika ada perjuangan, itu berarti demokrasi sedang berjalan. Maka, diam bukanlah pilihan! Demokrasi adalah milik kita, Indonesia adalah kita

--

--

Fact News
Fact News

Written by Fact News

Dept. Kajian Strategis BEM Kema Fapsi Unpad 2022 Kabinet Oragastra

No responses yet