Painting Madness

Fact News

--

Tahukah Good Readers bahwa Van Gogh, pelukis Eropa yang terkenal dengan karya ‘Starry Night’, pernah menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa? Bahkan, sebuah jurnal ilmiah mengatakan bahwa selama hidupnya, Van Gogh mengalami bipolar disorder. Para peneliti telah berdebat gangguan apa yang dialami Van Gogh ketika ia memotong telinganya sendiri pada Desember 1888. Van Gogh melakukan aksi bunuh diri di tahun 1890. (Wolf, 2001).

Tak hanya Van Gogh, Sir Isaac Newton juga mengalami depresi dan dikatakan pernah mengalami mental breakdown. Di tahun 1941, penulis Virginia Woolf yang mengalami bipolar disorder, mengakhiri hidupnya dengan memenuhi saku bajunya dengan batu agar tenggelam di Sungai Ouse.

Lalu benarkah orang-orang yang kreatif cenderung lebih berisiko mengalami gangguan jiwa? Kasus orang-orang yang bergerak dalam profesi di bidang kreatif terkena gangguan jiwa, contohnya aktor Robin Williams dan musisi Chester Bennington, memang sudah kita kenal. Tapi adakah bukti ilmiah yang mendukung hipotesis tersebut?

Sebuah studi di Swedia menyatakan bahwa gangguan jiwa tertentu, yaitu bipolar disorder, lebih tinggi prevalensinya pada kelompok orang yang memiliki profesi di bidang kreatif, seperti penari, peneliti, fotografer, dan penulis. Secara khusus, penulis memiliki risiko mengalami lebih banyak gangguan psikiatrik (termasuk schizophrenia, depresi, anxiety, sindrom dan kecanduan obat-obatan). Kelompok profesi ini juga berisiko bunuh diri 50% lebih dari populasi umum. (Kyaga, Landén, Boman, Hultman, Långström, & Lichtenstein, 2012)

Studi ini juga menemukan bahwa profesi seniman dan ilmuwan (profesi-profesi yang membutuhkan kreativitas) lebih banyak dipilih oleh keluarga yang salah satu anggotanya mengalami bipolar disorder dan schizophrenia. Anggota keluarga pasien dengan schizophrenia, bipolar disorder, anorexia nervosa, dan beberapa kasus autisme, lebih banyak memilih profesi di bidang kreatif. (Kyaga, Landén, Boman, Hultman, Långström, & Lichtenstein, 2012)

Berikut adalah hubungan kreativitas dan gangguan jiwa jika dilihat dari kepribadian, faktor genetik, dan neurosains.

1. Kepribadian

Di sini, kita lihat salah satu dari sifat kepribadian, yaitu neuroticism, pada orang-orang yang kreatif. Neuroticism adalah sifat kepribadian yang memiliki kecenderungan tinggi akan kecemasan, kekhawatiran, dan isolasi. Orang-orang yang neurotic lebih berisiko mengalami gangguan jiwa daripada orang-orang happy-go-lucky. Tetapi neuroticism ini juga berhubungan dengan pencarian kegiatan-kegiatan yang dapat menyalurkan kreativitas. Penelitian telah menemukan bahwa seniman dan orang-orang kreatif lainnya memiliki tingkat neuroticism lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak bekerja dalam bidang kreatif.

2. Faktor Genetik

Power, Steinberg, & Stefansson (2015) menemukan bahwa faktor genetik yang menambah risiko bipolar disorder dan schizophrenia banyak ditemukan pada orang-orang dengan profesi di bidang kreatif. Probabilitas pelukis, musisi, penulis, dan penari membawa varian gen tersebut rata-rata 25% lebih tinggi daripada petani dan salespeople.

Para ilmuan mengambil informasi medis dan genetik dari 86.000 orang Islandia untuk menemukan varian gen yang menambah risiko rata-rata untuk schizophrenia sebanyak 2 kali, dan menambah risiko bipolar disorder sebanyak 1/3 kali. Varian gen ini juga diteliti dalam orang-orang yang tergabung dalam komunitas-komunitas seni nasional. Gen tersebut ditemukan 17% lebih banyak pada anggota komunitas-komunitas seni nasional daripada orang-orang yang tidak tergabung dalam komunitas-komunitas tersebut.

Penelitian ini juga menyebar hingga Belanda dan Swedia. Kali ini, para peneliti mengacu pada database medis. Di antara 35.000 orang, probabilitas orang-orang yang dianggap kreatif (dilihat dari jenis profesi atau dites dengan kuisioner) membawa varian gen yang menambah risiko schizophrenia dan bipolar disorder 25% lebih tinggi daripada orang-orang yang dianggap tidak kreatif.

Meskipun hubungan kreativitas dan gangguan jiwa ini ditemukan pada gen, Stefansson mengakui bahwa asosiasi varian genetik untuk kreativitas dan gangguan jiwa tidak terlalu kuat. Ilmuan-ilmuan lain pun setuju dengan Stefansson. Faktor-faktor genetik yang meningkatkan risiko gangguan jiwa hanya dapat menjelaskan 0.25% kemampuan artistik seseorang.

3. Neurosains

Beberapa karakteristik otak dengan mental illness dan brain disorder memiliki kesamaan dengan karakteristik dan aktivitas otak yang berperan dalam kreativitas. Hal inilah yang memungkinkan orang-orang dengan mental illness ataupun brain disorder untuk menjadi lebih kreatif. Beberapa mental atau brain disorder yang seringkali dikaitkan dengan kreativitas antara lain, hypomania, psychosis, ADHD, epilepsy, frontotemporal dementia, amyotrophic/primary lateral sclerosis, parkinson’s, dan autistic savant syndrome, selain itu, substance abuse juga sering kali berkaitan dengan kreativitas (Flaherty, 2011). Pada bipolar disorder, di saat mood mengalami upswing ke arah hypomania, jaringan otak yang berperan penting dalam kreativitas (asosiasi dan sensori) menjadi lebih aktif dari pada biasanya (Jamison, 1989, Flaherty, 2011, Carson, 2011). Pada orang-orang yang mengalami kecenderungan neurotik, yang seringkali overthinking (memproduksi self-generated thoughts), aktivitas medial prefrontal cortex (mPFC) meningkat. Aktivitas mPFC ini membantu untuk membayangkan realita yang berbeda dengan keadaan nyatanya, hal ini juga penting dalam memecahkan masalah dan kreativitas, (Perkins, et al, 2015).

Gangguan mental lainnya, seperti psychopathy juga berkaitan dengan kreativitas. Kerusakan pada orbital cortex, atau kurang aktifnya frontal lobe yang berperan dalam perilaku seperti mengendalikan diri dan mengikuti aturan, melepaskan batasan kreativitas pada psikopat (Fallon, 2011). Psikopat, walaupun tidak memiliki IQ yang tinggi seperti yang diyakini banyak orang, memiliki kreativitas yang tinggi.

Tidak hanya bagian-bagian otak yang berperan dalam kreativitas, neurotransmitter, pengantar pesan antar saraf, juga berperan dalam kreativitas. Sebagai contoh, dopamine yang meningkatkan visual imagery (kemampuan membayangkan stimulus visual) akan meningkatkan kreativitas (Flaherty, 2011). Aktivitas dopamine yang tidak normal diduga sebagai penyebab schizophrenia.

Beberapa orang yang kreatif seringkali juga mengalami depresi, tetapi anti-depressant, yang bekerja dengan cara meningkatkan neurotransmitter serotonin, justru dapat mengurangi kreativitas karena menurunkan dopamine dan motivasi untuk melakukan sesuatu (Flaherty 2011). Obat-obatan yang meningkatkan serotinin ini juga ditemukan pada anti-convulsant yang digunakan untuk menangani epilepsy.

Obat-obatan untuk mental dan brain disorder lainnya juga dapat menghalangi kreativitas. Walaupun terdapat obat-obatan yang tidak telalu beresiko untuk kreativitas, penggunaan obat-obatan ini bukan serta merta tidak memiliki resiko ancaman terhadap kreativitas. Tidak hanya untuk terapi, obat-obatan juga seringkali digunakan sebagai pelarian oleh orang-orang yang mengalami mental ataupun brain disorder, yang akhirnya menimbulkan substance abuse, inilah yang membuat substance abuse berkaitan dengan kreativitas. Mereka pun sering beranggapan bahwa obat-obat adalah sumber kreativitas mereka. Masalah antara mental/brain disorder dengan efek samping obat-obatan terhadap kreativitas, serta substance abuse ini menimbulkan dilemma, to get free of madness in the cost of creativity, or to live in such disordered mental state that still allows room for creativity.

Glossarium

§ ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder): gangguan pada otak yang ditandai dengan pola atensi yang kurang baik dan hiperaktivitas / impulsivitas.

§ Amyotrophic / primary lateral sclerosis: kelainan saraf pada otot yang menyebabkan geraka otot volunter melemah

§ Anorexia nervosa: kelainan pola makan yang menyebabkan turunnya berat badan atau kurangnya pertambahan berat badan pada anak-anak, disertai dengan kesulitan menjaga berat badan yang proporsional dengan tinggi badan dan umur serta body image yang menyimpang dari keadaan tubuh yang sebenarnya.

§ Anti-convulsant: obat-obat khusus untuk menangani kejang karena epilepsi.

§ Anxiety: kecemasan

§ Autistic savant syndrome: sindroma autis yang disertai dengan kemampuan musikal, matematika, spasial, dan memori yang luar biasa.

§ Bipolar disorder: gangguan pada otak yang menyebabkan perubahan tingkat aktivitas dan mood yang tidak wajar, serta perubahan dalam kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari.

§ Brain disoder: gangguan pada otak

§ Depresi: gangguan pada mood yang memengaruhi cara berpikir dan berperilaku secara negatif.

§ Epilepsy: gangguan pada sistem saraf utama yang menyebabkan aktivitas otak menjadi abnormal, menghasilkan kejang dan terkadang hilangnya kesadaran.

§ Frontotemporal dementia: gangguan pada otak yang ditandai dengan mengecilnya bagian lobus frontal dan temporal

§ Hypomania: jenis mania yang tidak terlalu ekstrim, ditandai dengan kegembiraan dan hiperaktivitas.

§ Mental illness: gangguan jiwa

§ Neuroticism: sifat kepribadian yang memiliki kecenderungan tinggi akan kecemasan, kekhawatiran, dan isolasi.

§ Parkinson’s disease: gangguan progresif pada sistem saraf yang memengaruhi gerakan tubuh (kaku, lambat bergerak, dan tremor).

§ Psychopathy: gangguan perkembangan yang ditandai dengan empati dan rasa bersalah yang rendah serta risiko tinggi perilaku antisosial.

§ Psychosis: suatu kondisi yang memengaruhi pikiran sehingga terjadi kehilangan kontak dengan realita

§ Schizophrenia: gangguan jiwa kronis yang ditandai dengan delusi, halusinasi, kesulitan berpikir dan konsentrasi, serta kurangnya motivasi untuk beraktivitas.

§ Substance abuse: penyalahgunaan obat-obatan

Referensi

American Psychiatric Association. (2017). What is Depression? Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.psychiatry.org/patients-families/depression/what-is-depression

American Psychiatric Association. (2017). What is Schizophrenia? Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.psychiatry.org/patients-families/schizophrenia/what-is-schizophrenia

Carson, S. H. (2011). Creativity and psychopathology: a shared vulnerability model. [Review]. Journal of Psychiatry — Revue Canadienne de Psychiatrie, 56(3), 144–153. https://doi.org/10.1177/070674371105600304

DA, Treffert. (1999). The Savant and Autistic Disorder. CNS Spectr. 1999 Dec;4(12):57–60. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18311109

Fallon, J. H. (2006). Neuroanatomical background to understanding the brain of the young psychopath. Ohio State Journal of Criminal Law, 3(341), 341–367.

Flaherty, A. W. (2011). Brain illness and creativity: Mechanisms and treatment risks. Canadian Journal of Psychiatry, 56(3), 132–143. https://doi.org/10.1177/070674371105600303

Massara (2011). Today in History: Virginia Woolf Drowns Herself. Diakses pada 25 April 2018, dari http://flavorwire.com/165638/today-in-history-virginia-woolf-drowns-herself

Mayo Clinic (2018). Epilepsy. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/epilepsy/symptoms-causes/syc-20350093

Mayo Clinic. (2016). Frontotemporal Dementia. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/frontotemporal-dementia/symptoms-causes/syc-20354737

Mayo Clinic. (2015). Parkinson’s Disease. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/parkinsons-disease/symptoms-causes/syc-20376055

National Eating Disorders. (n.d.). Anorexia Nervosa. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.nationaleatingdisorders.org/learn/by-eating-disorder/anorexia

National Institute of Mental Health. (2016). Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.nimh.nih.gov/health/topics/attention-deficit-hyperactivity-disorder-adhd/index.shtml

National Institute of Mental Health. (2016). Bipolar Disorder. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.nimh.nih.gov/health/topics/bipolar-disorder/index.shtml

National Institute of Mental Health. (n.d.). What is Psychosis? Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophrenia/raise/what-is-psychosis.shtml

National Institute of Neurological Disorders and Stroke. (2017). Primary Lateral Sclerosis. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Primary-Lateral-Sclerosis-Information-Page

Perkins, A. M., Arnone, D., Smallwood, J., & Mobbs, D. (2015). Thinking too much: Self-generated thought as the engine of neuroticism. Trends in Cognitive Sciences, 19(9), 492–498. https://doi.org/10.1016/j.tics.2015.07.003

Power, R., Steinberg, S., Stefansson, K. (2015). Polygenic risk scores for schizophrenia and bipolar disorder predict creativity. Nature Neuroscience volume 18, 2015; DOI: 10.1038/nn.4040

R. Blair, R. J. (2013). Psychopathy: cognitive and neural dysfunction. Dialogues in Clinical Neuroscience, 15(2), 181–190.

Simon Kyaga, Mikael Landén, Marcus Boman, Christina M. Hultman, Niklas Långström, Paul Lichtenstein. (2012). Mental illness, suicide and creativity: 40-Year prospective total population study. Journal of Psychiatric Research, 2012; DOI: 10.1016/j.jpsychires.2012.09.010

WebMD. (n.d.) Bipolar II Disorder. Diakses pada 25 April 2018, dari https://www.webmd.com/bipolar-disorder/guide/bipolar-2-disorder#1

Wolf, P. (2001). Creativity and chronic disease Vincent van Gogh (1853–1890). Western Journal of Medicine, 175(5), 348.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Fact News
Fact News

Written by Fact News

Dept. Kajian Strategis BEM Kema Fapsi Unpad 2022 Kabinet Oragastra

No responses yet

Write a response