Baru-baru ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan kabar meninggalnya seorang balita karena menjalani ritual pengusiran makhluk halus. Dilansir dari hot.liputan6.com, balita tersebut bernama Aisyah yang tinggal di Dusun Papoan, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Jasad korban ditemukan dalam kondisi hampir menjadi kerangka di atas tempat tidurnya setelah 4 bulan meninggal dunia. Aisyah ditemukan setelah kakek dan bibinya mendatangi rumah korban karena merasa curiga sudah 4 bulan tidak melihat Aisyah. Menurut keterangan orang tuanya, sang balita sedang menjalani perawatan rukiah karena dianggap nakal.
Menurut hasil penyelidikan, Aisyah menjadi korban ritual rukiah dua orang tetangganya, yaitu Haryono (56) dan Budiono (43). Berdasarkan artikel yang ditulis di laman hot.grid.id, Kepala Desa Bejen, Pak Sugeng, mengatakan bahwa mereka memang mendalami ilmu spiritual, tetapi selama ini tidak ada masyarakat yang percaya kecuali orang tua Aisyah. Haryono (56) dan Budiono (43) meyakini bahwa korban kerasukan genderuwo yang membuat tingkah lakunya menjadi nakal. Mereka menenggelamkan sang balita di bak mandi hingga meninggal dunia. Setelah itu, kedua dukun tersebut meminta orang tuanya untuk membaringkan jasad korban di kamarnya karena suatu saat akan bangun kembali.
Mirisnya, orang tua Aisyah percaya dengan perkataan Haryono dan Budiono bahwa anaknya dapat bangun kembali dengan perilaku yang lebih baik. Bahkan, orang tuanya tetap merawat rutin Aisyah seperti biasa. Mereka juga sempat memberikan formalin kepada jasad Aisyah untuk menghindari tetangga mencium bau busuk jasad korban. Namun, setelah kakek dan bibi mengetahui kondisi korban, mereka segera melaporkan kejadian ini kepada Polsek Bejen. Polsek Bejen dan Piket Koramil langsung melakukan olah TKP, sedangkan jasad korban segera dibawa ke RSU Temanggung untuk dilakukan autopsi. Sementara itu, keempat pelaku yang terdiri dari orang tua korban dan dua tetangganya telah ditahan dan menjalani pemeriksaan. Kedua orang tua korban juga diharuskan melakukan pemeriksaan tes kejiwaan (Ayuningtyas, 2021 dalam hot.liputan6.com).
Kasus di atas merupakan salah satu dari banyaknya fenomena nahas yang berkaitan dengan praktik dukun pada era modern. Meskipun permasalahan yang dialami masyarakat dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih terus berkembang, tetapi ritual dan tradisi yang berkaitan dengan hal-hal magis masih dijadikan alternatif. Melalui kajian ini, mari kita telusuri asal mula kelahiran tradisi ini serta alasan yang melandasi masih maraknya praktik ilmu magis di Indonesia masa kini.
PERKEMBANGAN KEPERCAYAAN DALAM SOSIAL MASYARAKAT INDONESIA
Fenomena-fenomena mistis yang terjadi di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan dan keadaan sosial dalam bermasyarakat yang sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu. Kebudayaan manusia purba dan prasejarah di Indonesia nyatanya meninggalkan berbagai macam tradisi dan catatan sejarah yang menjadi ciri khas Nusantara. Peralihan zaman yang terjadi dari masa paleolitikum, mesolitikum, dan neolitikum masing-masing memiliki hal unik baik dari segi manusia, pola hidup, maupun kebudayaan. Penemuan manusia purba Meganthropus Paleojavanicus di Sangiran menjadi tanda adanya kehidupan manusia di zaman Paleolitikum. Dianggap sebagai awal kehidupan, pada zaman ini belum terlalu menunjukkan kebudayaan di masyarakat.
Berbeda pada zaman paleolitikum, terdapat perkembangan pola kehidupan yang terjadi dalam peradaban manusia dan masyarakat pada zaman mesolitikum. Pola hidupnya pun sudah mulai semi sedenter, yaitu hidup di cerukan gua-gua payung atau yang disebut Abris Sous Roche. Di dalam gua tersebut, terdapat lukisan prasejarah yang menggambarkan hewan buruan atau lukisan tangan sebagai bukti berkembangnya kepercayaan animisme yang meyakini kekuatan roh nenek moyang. Perkembangan sosial pada zaman ini pun bisa dikatakan pesat, ditandai dengan munculnya kelompok kecil yang terdiri dari 10–15 orang dengan pembagian kerja antara pria dan wanita. Selain itu, terdapat inisiatif terkait sistem pertanian sederhana dan sistem penguburan. Kepercayaan totemisme yang percaya pada kekuatan hewan buas dan tumbuhan besar juga mulai berkembang di masyarakat.
Peninggalan-peninggalan dari zaman mesolitikum terkenal bervariasi dan menjadi tonggak awal interaksi sosial. Menariknya, hal tersebut dapat dilanjutkan dan dipertahankan hingga Neolitikum. Pada zaman ini, terdapat dua migrasi besar yang menjadi cikal bakal nenek moyang di Indonesia, yakni migrasi Proto Melayu dan Deutro Melayu. Berasal dari Cina Selatan, Proto Melayu membawa kepercayaan animisme dan dinamisme melalui suku-suku yang ada di Indonesia seperti, Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.
Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda yang merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama (Pals, 2001). Seorang psikolog sekuler, Sigmund Freud (1918) menyatakan bahwa animisme menjelaskan konsep-konsep psikis teori akan keberadaan spiritual secara umum. Animisme merupakan pengetahuan akan dunia dan alam semesta yang diyakini menjadi tempat tinggal makhluk hidup yang hidup berdampingan dengan banyak roh.
Dengan berkembangnya animisme, muncul suatu paham baru yang juga berkembang dan tumbuh beriringan dengannya, yaitu dinamisme. Dinamisme mempercayai bahwa sifat dan substansi semua materi sama dengan manusia. Kepercayaan ini berawal dari animisme, yaitu roh manusia selalu berkembang dan tidak akan hilang seiring meninggalnya sang pemilik jasad. Dinamisme meyakini, jika manusia memiliki roh sehingga dapat hidup, maka begitu pula dengan materi lainnya, seperti matahari, bulan, laut, dan gunung. Semua materi itu dipercaya memiliki roh yang dapat berbuat baik dan juga berbuat kerusakan. Maka dari itu, banyak kebudayaan yang memiliki tradisi untuk melakukan prosesi penghormatan terhadap materi yang dianggap sakral tersebut untuk mendatangkan keberuntungan bahkan terhindar dari bencana atau bahaya (Prasetyo et al., 2016)
Tidak lama setelah itu, kedatangan Deutro Melayu yang berasal dari Vietnam Utara, Dongson membawa pengaruh kebudayaan logam dan perunggu yang masih kita gunakan hingga kini.. Ciri khas yang terdapat pada masa ini adalah sistem sosial masyarakat yang semakin rumit dengan berbagai tingkatan. Pertama kalinya, dalam suatu lingkungan sosial mulai terdapat sistem Primus Interpares (kepala suku) dan kepercayaan kepada dukun (Syamanisme). Kepercayaan-kepercayaan yang berkembang itulah yang menghasilkan kebudayaan pada masa megalitikum.
Melalui ulasan kebudayaan prasejarah di Indonesia tersebut, kita dapat melihat gambaran bahwa kepercayaan, pola hidup, dan kebudayaan yang dibangun oleh masa terdahulu masih diterapkan dan memiliki kontribusi tersendiri dalam perkembangan sosial masyarakat.
KEPERCAYAAN TERHADAP HAL MISTIS DALAM DUNIA MODERN
Zaman nenek moyang bangsa kita penuh dengan hal-hal mistis seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Namun, zaman sudah berubah. Gua-gua gelap berubah menjadi gedung pencakar langit yang tak pernah berhenti bersinar. Perkakas-perkakas kasar berubah menjadi alat-alat canggih seperti laser dan mesin. Aspek-aspek dalam kehidupan manusia berubah seiring perkembangan zaman dan perkembangan kemampuan berpikir manusia. Akan tetapi, mengapa praktik dukun masih digandrungi masyarakat walaupun tersedia dokter-dokter yang menggunakan metode saintifik serta teknologi-teknologi canggih?
Eugene Subbotsky (2011) mengemukakan sebuah hipotesis bahwa kepercayaan terhadap hal-hal mistis dalam masyarakat modern menyisip masuk ke dalam pemikiran subconscious. Dalam eksperimennya, orang dewasa yang berpendidikan akan terus menyangkal penjelasan-penjelasan yang berbau magis walaupun mereka tidak dapat menjelaskan peristiwa secara rasional. Namun, hal yang menarik adalah ketika eksperimen yang dilakukan mempunyai risiko untuk melukai diri partisipan. Perilaku yang ditunjukkan oleh para partisipan berubah seakan mereka percaya dengan sihir (magic) dan mengakui hal tersebut secara terbuka.
Dalam buku berjudul Anomalistic Psychology: Exploring Paranormal Belief and Experience, French dan Stone (2013) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kepercayaan individu terhadap hal-hal mistis seperti:
· Socioeconomic status (SES):
- Kepercayaan terhadap kekuatan mental (seperti ESP dan psychic healing) meningkat sejalan dengan tingkat edukasi seseorang.
- Kepercayaan terhadap kekuatan eksternal yang mempengaruhi individu (seperti takhayul dan astrologi) meningkat sejalan dengan tingkat pengangguran namun berbanding terbalik dengan tingkat penghasilan dan tingkat edukasi
· Budaya tempat individu tinggal:
- Kepercayaan terhadap takhayul dan sihir berbanding terbalik dengan tingkat religiusitas
- Kepercayaan terhadap hal-hal paranormal paling tinggi pada negara yang standar kehidupan, tingkat literasi, rata-rata tingkat edukasi, dan kualitas kehidupan umumnya rendah.
- Negara-negara yang dahulunya masuk ke blok timur mempunyai tingkat kepercayaan terhadap jimat, astrologi, dan ramalan yang tinggi.
Bandwagon Effect
Salah satu hal yang dapat menjelaskan alasan masih banyaknya orang yang lebih mempercayai dukun daripada dokter adalah adanya bandwagon effect. Bandwagon effect mengacu pada kecenderungan seseorang untuk mengadopsi perilaku, gaya, atau sikap tertentu hanya karena mayoritas orang melakukannya (Cherry, 2020). Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari sesuatu yang dinamakan dengan “impersonal influence” yang menyebutkan bahwa seseorang dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang opini kolektif atau pengalaman orang lain (Mutz, 1998). Selain itu, bandwagon effect juga merupakan bagian dari kelompok cognitive bias yang lebih besar atau kesalahan dalam berpikir yang memengaruhi penilaian seseorang saat mengambil keputusan (Baddeley, 2015). Salah satu dampak paling besar dari bandwagon effect adalah pengaruhnya kepada ilmu pengobatan. Hal ini dapat dijelaskan dalam sesuatu yang dinamakan dengan “medical bandwagons”, yaitu penerimaan ide-ide medis yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dianggap lumrah untuk dijalankan karena populer dikalangan masyarakat (Rikkers, 2002).
Bandwagon effect sering terjadi karena adanya keinginan untuk menjadi benar dan keinginan seseorang untuk terlibat dalam kelompok sosial (Cherry, 2020). Sebuah penelitian dari Mallinson dan Hatemi (2018) menunjukkan bahwa seseorang cenderung melihat orang lain dalam kelompok sosial mereka untuk menentukan apakah informasi yang didapat benar dan bisa diterima. Oleh karena itu, ketika mayoritas orang dalam kelompok sosial kita melakukan atau percaya akan sesuatu, seseorang akan cenderung berpikir bahwa itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan.
Word of Mouth
Hal lain yang dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat memercayai praktik perdukunan adalah Word of Mouth. Word of mouth merupakan pernyataan positif maupun negatif yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pengalaman mereka menggunakan sebuah produk atau jasa (Henning-Thurau & Klee, 1997). Metode ini bisa disampaikan dalam bentuk pemaparan melalui media atau cerita dari mulut ke mulut sehingga membuat metode ini ada sejak zaman dahulu dan menjadi hal yang paling mudah ditemui di masyarakat. Meskipun terlihat cukup sederhana, metode ini terbukti efektif dalam memengaruhi konsumen untuk mempertimbangkan produk dan jasa yang ingin dicoba. Hal Ini terjadi karena Word of Mouth berkorelasi positif dengan loyalitas dan juga kepercayaan dari konsumen. Menurut Romanuik (2007), secara garis besar kepercayaan mengenai produk/jasa yang dibicarakan akan bergantung pada seberapa banyak orang yang mengemukakan Word of Mouth positif dan negatif. Dalam kasus ini, semakin banyak orang yang menceritakan Word of Mouth positif terhadap perdukunan, maka akan semakin besar juga kepercayaan seseorang dengan praktik tersebut.
Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan adanya hubungan antara Word of Mouth dengan budaya lingkungan sekitar. Menurut Lam et all (2007), orang-orang dengan tingkat individualisme yang tinggi biasanya akan lebih mudah percaya dengan Word of Mouth karena menjadi salah satu bahan pertimbangan mereka. Penelitian lain juga menemukan bahwa efek Word of Mouth lebih dirasakan bagi orang-orang dari high uncertainty avoidance culture, yaitu orang yang mencemaskan ketidakpastian, menolak perubahan, dan terlalu memercayai seseorang yang dianggap ahli menurut mereka. Contoh gambaran dalam hal ini, ketika ada seseorang yang memiliki keyakinan kuat terhadap tradisi-tradisi sesepuhnya maka ketika dia menemukan sebuah permasalahan individu tersebut akan melakukan ritual sesuai dengan tradisi-tradisi yang mereka percayai dibandingkan mengontrolkan hal tersebut kepada para ahli profesional.
Media Influence
Tidak jarang kita menemukan berita tentang anak-anakyang melakukan sesuatu karena meniru adegan sinetron, mulai dari hal yang berbau romantis, sampai dengan hal yang berbau kekerasan. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa media dapat mempengaruhi cara orang berperilaku. Media dapat memengaruhi perilaku seseorang karena menyebabkan berubahnya kepercayaan (beliefs) seseorang dengan menyediakan informasi yang relevan. Selain itu, melalui persuasi media dapat langsung memberikan efek kepada perilaku (behaviors), terlepas dari informasi seseorang (Enikolopov & Petrova, 2017).
Media dapat memengaruhi cara kita berperilaku serta kepercayaan kita terhadap sesuatu. Menurut Potter (2012) terdapat 6 jenis efek yang dapat terjadi kepada individu, yaitu efek kognitif (cognitive media effect), kepercayaan (belief), afek (affect), efek psikologis (psychological effect), dan perilaku (behaviors). Kepercayaan kepada dukun dapat disebabkan oleh paparan media yang terus membuat dan membentuk kepercayaan kita dengan cara memperlihatkan sesuatu lebih dari apa yang kita bisa lihat secara langsung. Mungkin kita tidak pernah melihat secara langsung kekuatan seorang dukun, tetapi adanya tayangan sinetron yang melibatkan kemampuan dukun atau berita-berita tentang praktik dukun, pada akhirnya membuat orang-orang membentuk kepercayaannya terhadap dukun tersebut.
Penutup
Adanya kepercayaan masyarakat terhadap hal mistis tentunya bukan tanpa sebab. Kepercayaan ini sudah berkembang sejak berabad-abad lalu yang diwarisi oleh nenek moyang. Bahkan, perkembangan teknologi dan modernisasi tidak menghapus secara penuh kepercayaan yang telah lama dianut. Mereka mencari bantuan sampai pengobatan kepada orang-orang yang dianggap mampu terhadap hal-hal mistis, seperti dukun. Tak jarang, praktik atau ritual yang dilakukan justru menimbulkan malapetaka, salah satunya kematian. Bandwagon effect, Word of Mouth, dan media influence dapat menjelaskan mengapa masih saja ada masyarakat yang memercayai praktik atau ritual berbau mistis meskipun hasil yang didapat belum pasti adanya. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam mencari bantuan dan menimbang kembali risiko yang didapat. Jangan sampai tindakan kita justru membawa dampak buruk bagi diri dan sekitar, ya!
Daftar Pustaka
Afandi, A. (2018). Kepercayaan Animisme-Dinamisme Serta Adaptasi Kebudayaan Hindu-Budha Dengan Kebudayaan Asli Di Pulau Lombok-NTB. Historis | FKIP UMMat, 1(1), 1. https://doi.org/10.31764/historis.v1i1.202
Ayuningtyas, N. (2021). 4 Fakta Kasus Balita Korban Ritual Usir Genderuwo, Jasadnya Masih Disimpan. liputan6.com. Retrieved 8 June 2021, from https://hot.liputan6.com/read/4560057/4-fakta-kasus-balita-korban-ritual-usir-genderuwo-jasadnya-masih-disimpan.
Baddeley, M. (2015). Herding, social influences and behavioural bias in scientific research: Simple awareness of the hidden pressures and beliefs that influence our thinking can help to preserve objectivity. EMBO reports, 16(8), 902–905.
Cherry, K. (2020). The bandwagon effect Is Why People Fall for Trends. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-the-bandwagon-effect-2795895.
Enikolopov, R., & Petrova, M. (2017). Mass media and its influence on behaviour. Crei.cat. Retrieved 6 June 2021, from https://crei.cat/wp-content/uploads/2018/03/Opuscle-44_ENG.pdf.
French, Christopher C., Stone, A. (2013). Anomalistic Psychology: Exploring Paranormal Belief and Experience. In Red Globe Press (2013th ed.).
Freud, S., Brill, A. A. & Sigmund Freud Collection. (1918) Totem and Taboo; Resemblances Between the Psychic Lives of Savages and Neurotics. New York, Moffat, Yard and company. [Pdf] Retrieved from the Library of Congress, https://www.loc.gov/item/18012738/.
Mallinson, D. J., & Hatemi, P. K. (2018). The effects of information and social conformity on opinion change. PloS one, 13(5), e0196600.
Mutz, D. C. (1998). Impersonal influence: How perceptions of mass collectives affect political attitudes. Cambridge University Press.
Nicolaus. (2021). Aisyah, Bocah yang Dibunuh Karena Disebut Kerasukan Genderuwo Tak Cuma Ditenggelamkan, Dukun Paksa Gadis Kecil Tersebut Makan Cabai dan Bunga Mahoni — Halaman 3 — Grid Hot. Grid Hot. Retrieved 8 June 2021, from https://hot.grid.id/read/182701411/aisyah-bocah-yang-dibunuh-karena-disebut-kerasukan-genderuwo-tak-cuma-ditenggelamkan-dukun-paksa-gadis-kecil-tersebut-makan-cabai-dan-bunga-mahoni?page=3.
Nurdin, A. (2015). Komunikasi magis: Fenomena Dukun di Pedesaan. LKiS Pelangi Aksara.
Prasetyo, S. E., Fahrozi, M. N., Surbakti, K., Purwanti, R., Siregar, S. M., Sunliensyar, H. H., Fadhlan, M., & Intan, S. (2016). Siddhayãtra. 21(2). http://repositori.kemdikbud.go.id/7182/1/Siddhayatra Vol 21 %282%29 November 2016.pdf
Pals, Daniel L; Ruslani; Ali Noer Zaman. (2001). Seven theories of religion : dari animisme E.B. Tylor, materialisme Karl Marx, hingga antropologi budaya C. Geertz / Daniel L. Pals; alih bahasa, Ali Noer Zaman; penyunting, Ruslam. Yogyakarta :: Qalam,.
Potter, W. (2012). What is a media effect?. In Media effects (pp. 33–50). SAGE Publications, Inc., https://www.doi.org/10.4135/9781544308500.n3
Rikkers, L. F. (2002). The bandwagon effect.
Subbotsky, E. (2011). The ghost in the machine: Why and how the belief in magic survives in the rational mind. Human Development, 54(3), 126–143. https://doi.org/10.1159/000329129