1. Pendahuluan
Pada sekitar awal bulan Februari lalu, publik dunia maya digegerkan dengan salah satu kasus mengenai seseorang yang bernama Dedy Susanto, atau yang lebih sering dipanggil dengan sebutan DS. DS mengaku sebagai seorang “Doktor Psikologi” dan sudah banyak melakukan sesi terapi di berbagai kota di Indonesia. Kasus mengenai DS kian mencuat ke publik ketika seorang selebgram bernama Revina, mengunggah sebuah foto hasil tangkapan layar yang berisikan percakapannya dengan DS. Tangkapan layar tersebut berisikan percakapan ketika dirinya diajak berkolaborasi untuk membuat suatu video mengenai Karya Karsa. Di dalam foto tersebut, Revina mulai menyadari sesuatu yang aneh dari percakapannya dengan DS dan mulai meragukan kredibilitas DS itu sendiri. Setelah penelusuran lebih lanjut, Revina pun menemukan berbagai macam bukti yang pada akhirnya menambah kecurigaan dirinya kepada DS.
Pada awalnya, Revina menaruh kecurigaan terhadap status dari DS itu sendiri yang bukan merupakan seorang Psikolog. Meskipun DS sendiri mengadakan sesi terapi „psikologis‟ yang terbilang cukup sering di beberapa kota di Indonesia, namun dirinya bukan merupakan seorang Psikolog, karena ia tidak pernah mengambil dan lulus dari program Magister Profesi Psikologi. Selain itu, DS juga tidak memiliki surat izin praktik dari HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) dan bukan merupakan anggota organisasi tersebut. Karena DS bukan merupakan psikolog dan anggota HIMPSI, maka DS ini bukan merupakan tanggung jawab dan tidak bisa diproses menggunakan peraturan keanggotaan dari organisasi tersebut. Oleh karena itu, Revina pada akhirnya memutuskan untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.
Per tanggal 20 Februari, akhirnya DS dilaporkan oleh Revina melalui pengacaranya, yaitu Mohammad Fadli Aziz terkait pelanggaran UU №36 Pasal 44 tentang tenaga kesehatan. Dikutip dari detik.com DS menuturkan bahwa ia tidak pernah mengaku sebagai psikolog. Tetapi, beliau mengaku sebagai hypnotherapist. Jelas, pasal ini tidak cukup kuat untuk melawan Dedy, karena Dedy sendiri memenuhi kriteria sebagai tenaga kesehatan atau hypnotherapist yang ada di pasal tersebut. UU №36 ini memang belum bisa dikatakan memenuhi harapan akan pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan.
Sampai saat ini, memang belum ada peraturan yang spesifik mengatur ranah profesi psikologi. Tetapi, HIMPSI sebagai satu-satunya organisasi yang menaungi keprofesian psikologi se-Indonesia merancang sebuah RUU yang mengatur keprofesian psikologi. RUU ini diharapkan untuk segera disahkan guna melindungi masyarakat dari tindakan malpraktek psikologi dan juga untuk psikolog mendapatkan kepastian hukum mengenai statusnya sebagai sebuah profesi
Pada draf RUU Profesi Psikologi yang sudah diberikan kepada DPR, tepatnya pada pasal 53 disebutkan bahwa orang yang sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan sebagai psikolog yang memiliki STRP (Surat Tanda Registrasi Psikolog) akan didenda paling banyak 400 juta atau hukuman pidana paling lama 2 tahun. Jika saja undang-undang ini sudah disahkan, maka orangorang yang berkesan psikolog dengan memaparkan gelarnya tanpa adanya STRP seperti DS ini akan mendapat hukuman yang jelas.
2. Mengapa UU Profesi Psikologi Harus Ada?
Kasus Dedy Susanto seakan menjadi bukti adanya celah bagi para pelaku untuk melakukan kegiatan malapraktik psikologi di Indonesia. Tentunya kegiatan-kegiatan malapraktik psikologi tidak dapat dibiarkan karena dapat berdampak fatal bagi klien. Klien berpotensi mendapatkan asesmen yang salah serta intervensi yang keliru dan tidak profesional yang justru beresiko untuk kesehatan mental mereka sendiri. Hal tersebut sekaligus menjadi pengingat pentingnya kejelasan payung hukum bagi profesi psikologi (Himpunan Psikologi Indonesia, 2018).
Berkaitan dengan hal tersebut, sebenarnya di Indonesia telah terdapat Kode Etik Psikologi Indonesia yang merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh Psikolog dan kelompok Ilmuwan Psikologi Indonesia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) juga menyatakan bahwa selama ini telah banyak Undang-Undang yang menyebut profesi psikologi. Akan tetapi, peraturan — peraturan tersebut dirasa masih kurang cukup. Peraturan-peraturan tersebut di antaranya adalah:
● UU No 11 Tahun 2012 tentang peradilan pidana: psikolog membantu anak yang terkena kasus hukum
● UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Himpsi, IDI dan BNN bertugas untuk melakukan pemeriksaan kesehatan kepada calon kepala daerah
● UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa: peran psikolog sentral
● UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak: psikolog bekerja sama dengan P2TP2A untuk member perlindungan terhadap anak
● PP No 21 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana: Psikolog bekerja sama dengan BNPB, BNPD, Kemenkes memberi dukungan kesehatan jiwa untuk para korban dan bergerak melakukan pendampingan psikososial
● PP No 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Psikologis Calon Tenaga Kerja Indonesia agar mereka siap bekerja dan beradaptasi (Wikidpr, 2019).
Peraturan-peraturan tersebut belum bisa menjawab banyak permasalahan mengenai profesi psikologi yang ada di masyarakat. Berdasarkan Rapat Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan Konsepsi RUU tentang Profesi Psikologi yang diselenggarakan oleh DPR RI tanggal 5 Februari 2020, terdapat beberapa fenomena yang mendukung diperlukannya UU Profesi Psikologi (Ratnasari, 2020). Fenomena tersebut diantaranya adalah:
● Beragam persoalan di masyarakat yang membutuhkan peran profesi Psikologi sehingga dibutuhkan standar dalam kualitas layanan jasa dan praktik profesi Psikologi untuk melindungi pengguna.
● Berbagai tenaga profesi psikologi yang mempunyai keahlian dan kewenangan yang berbeda. Hal ini membutuhkan standar kompetensi dan kewenangan yang berbeda dalam layanan jasa dan praktik profesi psikologi, seperti pengaturan hukum tentang cakupan profesi psikologi.
● Banyaknya jumlah lulusan pendidikan tinggi Psikologi dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan sehingga diperlukan pencatatan tenaga profesi psikologi untuk memberikan perlindungan profesi, contohnya dalam bentuk pengaturan tentang registrasi, sertifikasi, dan izin praktik profesi psikologi.
● Mulai banyak psikolog asing yang melakukan layanan jasa dan praktik profesi Psikologi di Indonesia sehingga menimbulkan urgensi untuk melindungi masyarakat yang menggunakan jasa psikolog asing. Seperti pengaturan registrasi, sertifikasi, dan izin praktik Psikologi.
● Maraknya malapraktik layanan jasa dan praktik profesi Psikologi baik oleh Psikolog maupun pihak lain. Seperti penggunaan tes Psikologi oleh orang yang tidak kompeten, penerbitan buku tentang Tes Psikologi, Keberpihakan psikolog dalam peradilan, alat asesmen psikologi yang tidak ilmiah, intervensi yang tidak ilmiah, serta tidak menjaga kerahasiaan hasil asesmen dan/atau intervensi sehingga dibutuhkan perlindungan bagi masyarakat yang menggunakan jasa dan praktik psikologi.
● Beragamnya kualitas Pendidikan tinggi Psikologi di Indonesia dalam berbagai jenjang sehingga diperlukan penjagaan standar kompetensi tenaga kerja profesi Psikologi untuk memelihara kompetensi dan profesionalitas psikolog.
3. Proses Pengusulan RUU Profesi Psikologi sampai Sekarang
Di kalangan profesi psikologi, pembicaraan mengenai RUU Profesi Psikologi ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Drs. H. Hatta Albanik, M.Si, Psikolog sebagai Majelis Psikologi Pusat dari Himpunan Psikologi Indonesia menyatakan bahwa RUU Profesi Psikologi sebenarnya sudah diajukan dari tahun 2000 (Barometer, 2020). Tepatnya, proses ini dimulai pertama kali di bawah kepemimpinan Dr. Rahmat Ismail, Psikolog, Ketua Umum Pengurus Pusat HIMPSI 2000–2007. Pada periode ini HIMPSI sudah membuat 6 draft RUU Profesi Psikologi. Namun, setelah itu persoalan RUU tidak lagi dibahas. Menurut sepengetahuan Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum PP HIMPSI 2018–2022), hal tersebut karena masih adanya kebingungan dalam memilih kementrian pembina dan adanya penilaian bahwa profesi psikolog tidak memerlukan undang-undang (Himpunan Psikologi Indonesia, 2020).
Dalam Seminar Nasional “RUU Profesi Psikolog: Peran dan Urgensi dalam
Masyarakat Psikologi di Indonesia” pada 19 September 2014 lalu, dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ (Ketua Panja RUU Keperawatan dan RUU Kesehatan Jiwa) menjelaskan mengenai proses pembuatan undang-undang. Sebelumnya, dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ ini telah berhasil meloloskan UU Kesehatan Jiwa hingga disahkan di tahun
2014. Menurut dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ (Ketua Panja RUU Keperawatan dan RUU Kesehatan Jiwa), pengusulan suatu undang-undang terdiri atas tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, dan pengesahan. Pertama, dalam tahap perencanaan, masyarakat mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Setelah itu, Biro PUU Sekretaris Jenderal DPR melakukan penelitian dan penyusunan awal. Dalam tahap penyusunan ini, RUU tersebut dibahas secara bertahap, mulai dari komisi ke sidang paripurna DPR. Hal ini agar RUU tersebut dapat dijadikan RUU usul inisiatif DPR. Kemudian, RUU yang telah disepakati itu dibahas dengan perwakilan pemerintah atau menteri terkait. Terakhir, baru RUU ini dapat disahkan melalui mekanisme rapat paripurna dan ditandatangani oleh Presiden (ILMPI, 2015).
Dilansir dari Lalu, pada periode kepengurusan HIMPSI 2014–2018, Ketua Umum HIMPSI membentuk tiga tim yang terdiri dari Tim Pengarah, Tim Penyusun, dan Tim Pendukung. Alhasil, sebelum masa kepengurusan ini berakhir, naskah akademik dan RUU Profesi Psikologi berhasil diselesaikan pada Oktober 2018. Pengurus HIMPSI 2018–2022 menindaklanjuti RUU ini dengan melakukan audiensi, menyerahkan dokumen, dan melakukan permohonan agar RUU ini bisa dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Akhirnya, pada 20 Januari 2020, dalam rapat paripurna, DPR mengesahkan RUU Profesi Psikologi ini menjadi RUU Prolegnas Prioritas 2020 (Himpunan Psikologi Indonesia, 2020).
Kemudian, RUU ini juga diusulkan oleh salah satu anggota komisi DPR pada 27 Januari 2020. Pada tanggal 5 Februari, diadakan Rapat Badan Legislasi Penjelasan Pengusul RUU tentang Profesi Psikologi. Rapat ini diwakili oleh pengurus pusat dan majelis pengurus pusat atas undangan dari pengusul RUU Profesi Psikologi, yaitu Dra. Desy Ratnasari, M.Si., M.Psi., Psikolog. (Satu Langkah Menuju RUU Profesi Psikologi Indonesia — SUMEKS.CO, n.d.). Akhirnya, draf pertama naskah akademik dapat dikeluarkan pada 9 Februari 2020 (DPR, n.d.).
Untuk mendukung pembentukan RUU profesi psikologi ini, HIMPSI melakukan diskusi serentak yang berlangsung pada 17–26 Februari 2020 yang terjadwal di 11 kota di Indonesia. Diskusi tersebut diharapkan dapat menyempurnakan rancangan konsep dari RUU Profesi Psikologi itu sendiri (Satu Langkah Menuju RUU Profesi Psikologi Indonesia — SUMEKS.CO, n.d.). Harapannya, RUU Profesi Psikologi ini dapat memberikan kepastian hukum bagi psikologi mengenai statusnya sebagai profesi. Selain itu, RUU Profesi Psikologi diharapkan dapat melindungi masyarakat dari oknum-oknum yang mengaku sebagai „psikolog‟ dan masyarakat yang dirugikan pada melaporkan oknum-oknum tersebut pada pihak berwajib (Barometer, 2020).
Kemudian, di tanggal 15 April, DPR mengadakan Rapat Badan Legislasi pengharmonisasian RUU tentang Profesi Psikologi. Pada rapat ini ada paparan tim ahli atas kajian pengharmonisasian badan legislasi. Selanjutnya, RUU Profesi Psikologi ini seharusnya memasuki tahap pembahasan dan melalui dua proses selanjutnya, yaitu Pembicaraan Tingkat I dan Pembicaraan Tingkat II. Itu merupakan proses yang harus dilalui sebelum akhirnya RUU Profesi Psikologi dapat memasuki tahap pengesahan. Namun, hingga saat ini RUU Profesi Psikologi belum mencapai tahap pembahasan (DPR, n.d.).
4. Kritik terhadap RUU Profesi Psikologi
Selain kritik terhadap proses perancangan RUU Profesi Psikologi yang mandek, beberapa pihak juga memberikan tanggapan terhadap substansi dari RUU yang sedang kita bicarakan ini. Secara umum, komentar dari pihak-pihak ini mengulas tentang landasan dan posisi profesi psikologi di Indonesia, aturan pemidanaan pada RUU ini, serta pemilihan diksi dan tata bahasa yang digunakan pada draf RUU.
Juneman Abraham, Doktor Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia sekaligus pengajar di Universitas Bina Nusantara, menuangkan beberapa masukannya lewat blog dan homepage Binus. Pada laman blognya, Juneman mengemukakan sebelas tanggapan terkait naskah akademik RUU Profesi Psikologi. Juneman menyayangkan beberapa hal krusial yang tidak ikut tercantum dalam naskah akademik ini. Contohnya, tidak adanya penjelasan tegas mengenai perbedaan psikolog, psikiater, perawat jiwa, dan pekerja sosial. Padahal, undang-undang ini bisa menjadi sarana yang tepat untuk memperjelas batasan profesi-profesi tersebut. Sayang, penjelasan tersebut tidak tercantum dalam naskah akademik yang dimaksud.
Selain itu, masih banyak pemilihan kata yang tidak tepat dan penggunaan istilah yang tidak menggunakan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) yang benar. Contoh yang diberikan Juneman yaitu pemilihan frasa “alat tes psikologi” pada bagian jangkauan pengaturan UU Profesi Psikologi. Juneman menyarankan untuk mengganti istilah tersebut dengan “alat ukur psikologi” agar cakupannya lebih luas. Selain itu, terdapat istilah “Surat Ijin Praktek Psikologi” yang jika ditinjau menggunakan kaidah Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) seharusnya adalah “Surat Izin Praktik Psikologi”.
Kritik tidak datang dari satu pihak saja. Fachrizal Afandi, Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, melalui bahasan.id mengemukakan bahwa terdapat asas-asas pengaturan pemidanaan, seperti lex certa dan lex stricta yang belum terdapat dalam RUU Profesi Psikologi. Dua asas tersebut merupakan bagian dari empat asas legalitas yang dikemukakan oleh Jescheck dan Weigend, yang berarti ketentuan hukum pidana harus jelas (lex certa) dan harus ditafsirkan secara ketat (lex stricta). RUU Profesi Psikologi ini dinilai belum mengandung dua asas tersebut, terlihat pada pasal 52 dan 53 yang mencantumkan kata “menimbulkan kesan seolah-olah” dalam rumusannya. Kata tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana akan dilakukan berdasarkan penilaian subjektif belaka. Dengan demikian, kedua pasal tersebut dinilai belum jelas dan bermakna ambigu dalam proses interpretasinya.
5. Kesimpulan & Sikap
5.1 Kesimpulan
Kasus viral yang melibatkan Dedy Susanto, “Doktor Psikologi” dengan sesi terapi di berbagai kota di Indonesia, menjadi sebuah penegasan bahwa RUU Profesi Psikologi sangat diperlukan di Indonesia. Peraturan yang ada saat ini dirasa belum cukup dalam mengatur profesi psikologi. Masih banyak celah penyalahgunaan gelar yang berpotensi membuat klien mendapatkan pelayanan dan intervensi yang keliru. Sikap yang tidak profesional ini berisiko terhadap kesehatan mental klien yang mendatangi oknum tersebut.
Selain terhadap proses pembuatan RUU Profesi Psikologi yang hingga saat ini masih belum mencapai tahap pembahasan, beberapa pihak juga memberikan kritik terhadap substansi draf RUU-nya. Secara umum, komentar dari pihak-pihak ini mengulas tentang landasan dan posisi profesi psikologi di Indonesia, aturan pemidanaan pada RUU ini, serta pemilihan diksi dan tata bahasa yang digunakan pada draf RUU.
5.2 Sikap
Menimbang urgensi pengesahan Undang-undang Profesi Psikologi dan masih banyaknya kritik terhadap RUU ini, kami memberikan beberapa pernyataan sikap terkait RUU Profesi Psikologi saat ini, sebagai berikut:
● Menuntut HIMPSI untuk memperjelas perbedaan dan batasan antara profesi psikolog, psikiater, perawat jiwa, dan pekerja sosial pada naskah akademik.
● Menuntut DPR untuk mengkaji kembali pasal-pasal dalam draf RUU Profesi Psikologi karena dinilai belum memenuhi asas-asas legalitas pemidanaan.
● Menuntut DPR untuk sesegera mungkin mengesahkan RUU Profesi Psikologi setelah dilakukan pengkajian ulang terhadap draf RUU Profesi Psikologi dan naskah akademiknya.
● Mengajak masyarakat, khususnya civitas Fapsi Unpad, untuk memberikan perhatian sekaligus mengambil peran dalam mengawal proses pembentukan RUU Profesi Psikologi hingga disahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, J. (2020). Juneman Abraham » RUU Psikologi. Juneman.blog.binusian.org.
Retrieved 14 May 2020, from http://juneman.blog.binusian.org/tag/ruu-psikologi/.
Afandi, F. (2020). RUU Profesi Psikologi atau RUU Organisasi Psikologi? — Bahasan.ID. Bahasan.ID. Retrieved 14 May 2020, from https://bahasan.id/ruu-profesi-psikologiatau-ruu-organisasi-psikologi/.
Barometer. (2020). HIMPSI Sumsel Menjadi Tuan Rumah Dalam Acara” Diskusi RUU Profesi Psikologi Bersinergi Untuk Kemajuan Profesi Psikologi dan Bangsa” | Barometer99 — Berita Terkini Indonesia. https://www.barometer99.com/2020/02/himpsi-sumsel-menjadi-tuan-rumahdalam.html.
Ratnasari, D. (2020, Februari 5). RUU tentang Profesi Psikologi. Diambil dari dpr: http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ5-20200210-045112-8219.pptx
DPR. (n.d.). Undang-Undang dan RUU — Dewan Perwakilan Rakyat. Retrieved May 25, 2020, from http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/329 .
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010, Juni). KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA. Retrieved from Himpunan Psikologi Indonesia: https://himpsi.or.id/organisasi/kodeetik-psikologi-indonesia
Himpunan Psikologi Indonesia. (2018, Oktober). RUU PROFESI PSIKOLOGI DAN NASKAH AKADEMIKNYA. Retrieved from Himpunan Psikologi Indonesia: https://himpsi.or.id/web/content/1437?access_token=870632fc-a0ed-4a9e-8899bb8b43abfa6e&unique=false&download=true
Himpunan Psikologi Indonesia. (2020). Psikologi Indonesia. Retrieved May 25, 2020, http://repository.ubaya.ac.id/37726/1/Reprint Psikologi Indonesia Vol 1 No 2 2020 Prof
Hari K Lasmono.pdf
ILMPI. (2015). RUU Keprofesian Psikologi: Urgensi dan Peran Strategis Profesi Psikologi di Indonesia — ILMPI. Retrieved May 25, 2020, from https://ilmpi.org/artikelkajian/publikasi/ruu-keprofesian-psikologi-urgensi-dan-peran-strategis-profesipsikologi-di-indonesia/
Jogloabang.com. 2014. UU 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan | Jogloabang.
Retrieved from https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-36-2014-tenaga-kesehatan
Permana, R., 2020. Pelapor Kasus ‘Doktor Psikologi’ Dedy Susanto Ungkap Surat HIMPSI. [online] detiknews. Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-4925649/pelaporkasus-doktor-psikologi-dedy-susanto-ungkap-surat-himpsi
Satria, H. (2018). The Principle of Legality in Criminal Act of Terrorism. Jurnal Cita Hukum,
5(2), 211–232. https://doi.org/10.15408/jch.v5i2.4959
Satu Langkah Menuju RUU Profesi Psikologi Indonesia — SUMEKS.CO. (n.d.). Retrieved May 25, 2020, from https://sumeks.co/satu-langkah-menuju-ruu-profesi-psikologiindonesia/
Sriwijaya Post. 2020. Profesi Psikologi Sering Disalahgunakan, HIMPSI Berharap RUU Profesi Psikologi Disahkan — Sriwijaya Post. Retreived from https://palembang.tribunnews.com/2020/02/23/profesi-psikologi-seringdisalahgunakan-himpsi-berharap-ruu-profesi-psikologi-disahkan
Sketsa Unmul. (2020, Februari 10). Urgensi RUU Keprofesian Psikologi di Era Revolusi Industri 4.0. Diambil dari Sketsa Unmul: https://www.sketsaunmul.co/opini/urgensiruu-keprofesian-psikologi-di-era-revolusi-industri-40/baca
wikidpr. (2019, Maret 8). HIMPSI Mengajukan RUU Profesi Psikologi ke Baleg. Diambil dari wikidpr: https://wikidpr.org/rangkuman/himpsi
LAMPIRAN
Draft RUU Profesi Psikologi (9 Februari 2020)
● Pasal 52 :
“Setiap orang yang tidak berwenang dengan sengaja menggunakan Tes Psikologi dan Intervensi Psikologi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah Psikolog yang telah memiliki surat tanda registrasi atau surat izin praktik Psikologi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).”
● Pasal 53 :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah Psikolog yang telah memiliki surat tanda registrasi Psikolog dan/atau syarat izin praktik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”